Dalam pandangan bangsa Yunani, tujuan pendidikan merupakan suatu ketenteraman. Sedangkan dalam Islam, tujuan pendidikan adalah untuk membentuk manusia supaya sehat, cerdas, patuh, dan tunduk kepada perintah Allah serta menjauhi setiap larangan_Nya (Ahmadi dan Uhbiyati, 1991: 99).
Tujuan pendidikan adalah seperangkat hasil pendidikan yang dicapai oleh peserta didik setelah terselenggarakannya kegiatan pendidikan. Seluruh kegiatan pendidikan yaitu berupa bimbingan dalam pengajaran atau latihan, yang mengarah kepada pencapaian tujuan pendidikan tersebut. Dalam konteks ini tujuan pendidikan merupakan komponen yang tersistem dari pendidikan dengan menempati kedudukan dan fungsi sentral. Oleh sebab itu setiap tenaga pendidikan sangat perlu untuk memahami tujuan pendidikan dengan baik (Suardi, 2010: 7).
Sedangkan Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah maupun madrasah meliliki tujuan untuk menumbuhkan dan meningkatkan keimanan melalui pemberian dan pemupukan pengetahuan, penghayatan, pengalaman serta pengalaman peserta didik mengenai agama Islam sehingga menjadi seorang muslim yang terus berkembang dalam hal keimanan, ketakwaan, serta berbangsa dan bernegara (Majid, 2012:16).
Telah kita saksikan selama ini, apa itu karena kegagalan dalam pembentukan individu atau karena hal lain, nilai-nilai yang mempunyai implikasi sosial dalam istilah Qodry Azizy yang disebut dengan moralitas sosial atau etika sosial dan AA. Gym menyebutnya dengan krisis akhlak, yang sampai sekarang ini hampir tidak pernah mendapat perhatian serius. Padahal penekanan yang amat terpenting dari ajaran Islam pada dasarnya adalah hubungan antar sesama manusia (mu’amalah bayina al nas) yang sarat terhadap nilai-nilai yang berkaitan dengan moralitas sosial tersebut. Bahkan filsafat Barat pun sangat serius dalam mengarahkan pada pembentukan kepribadian itu. Theodore Roosevelt mengungkapkan bahwasannya mendidik seseorang (menekankan) pada otak/pikiran bukan pada moral adalah sama artinya dengan mendidik atau menebarkan ancaman kepada masyarakat (Majid, 2012:7-8).
Dari penjelasan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan dari pendidikan agama Islam harus mengarah pada penanaman nilai-nilai Islam dan pembentukan etika sosial atau moralitas sosial. Penanaman nilai Islam dan pembentukan etika sosial tersebut tidak lain untuk memberi pembelajaran kepada manusia agar mendapatkan kebaikan di dunia maupun akhirat baik itu bagi seseorang yang mendidik ataupun yang dididik.
Para ahli mengungkapkan faktor-faktor yang dapat mepengaruhi keberhasilan dalam pendidikan yaitu:
Pertama, Slameto berpendapat bahwa faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan pembelajaran adalah faktor keluarga. Karena siswa berangkat dari rumah menuju sekolah tidak hanya membawa buku, ataupun membawa uang saku saja, namun terlepas dari itu juga membawa latar belakang ideologi dari rumah, serta membawa asumsi-asumsi dasar yang dibangunnya dari lingkungan keluarga tersebut. Slameto juga membagi faktor keluarga itu menjadi tujuh faktor yaitu orang tua mendidik, relasi antar anggota keluarga, suasana rumah, keadaan ekonomi keluarga, pengertian orang tua dan latar belakang budaya (Slameto, 2010:60).
Kedua, Toto Fathoni dan Cepi Riyana menyatakan kalau faktor waktu juga dapat mempengaruhi keberhasilan dalam proses pembelajaran. Faktor waktu itu dapat dibagi menjadi dua, yaitu yang menyangkut jumlah waktu dan kondisi waktu. Suatu hal yang menyangkut jumlah waktu adalah berapa jumlah jam pelajaran yang tersedia untuk proses pembelajaran. Sedangkan yang menyangkut kondisi waktu adalah kapan pembelajaran itu dilaksanakan. Seperti pagi, siang, sore, malam, akan menyebabkan kondisi yang berbeda. Hal tersebut juga akan memberi pengaruh terhadap proses pembelajaran yang terjadi (Fathoni dan Riyana, 2011:156).
Namun untuk melihat keberhasilan pembelajaran dalam suatu pendidikan maka dapat dilihat dari sejauh mana penggunaan kurikulum dalam suatu pendidikan. Dalam kurikulum terdapat kompetensi-kompetensi yang harus dipenuhi supaya tujuan pembelajaran dapat tercapai, dan kompetensi-kompetensi tersebut atara lain adalah Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD). Standar kompetensi merupakan kerangka yang memberi penjelasan atas dasar pengembangan program pembelajaran yang terstruktur. Standar Kompetensi dalam kurikulum 2013 di ubah menjadi Kompentensi Inti (KI). Kompetensi dasar merupakan perincian atau penjabaran lebih lanjut dari standar kompetensi. Kompetensi dasar itu berupa pengetahuan, keterampilan, serta sikap yang minimal harus dikuasai siswa sehingga menunjukkan kalau siswa telah menguasai standar kompetensi yang sudah ditetapkan (Majid, 2012: 223).
Selain itu Djamara dan Zani (2006:106) menjelaskan bahwa terdapat pula indikator yang merupakan kompetensi dasar secara spesifik sehinga dapat dijadikan ukuran dalam mengetahui ketercapaian hasil pembelajaran. Indikator keberhasilan dalam belajar antara lain, yaitu:
1. Daya serap terhadap bahan pengajaran yang diajarkan mencapai prestasi tertinggi, baik secara individual maupun kelompok.
2. Perilaku yang ditetapkan dalam tujuan pengajaran/instruksional khusus (TIK) telah dicapai oleh peserta didik, baik itu secara individual ataupun kelompok.
Indikator dalam pencapaian hasil belajar pada kurikulum berfungsi sebagai ciri-ciri yang menunjukkan adanya perubahan dalam berperilaku pada peserta didik. Ciri-ciri itu lebih spesifik dan lebih dapat pula diamati dalam diri peserta didik (Majid, 2012: 233-234).
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, A. dan Nur Uhbiyati. Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. 1991.
Djamara, Syaiful Bahri dan Aswan Zani. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rhineka Cipta. 2006.
Fathoni, Toto dan Cepi Riyana. Komponen-Komponen Pembelajaran: dalam Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Raja Grafindo. 2011.
Majid, Abdul. Belajar dan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2012.
Slameto, Alfabeta. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta. 2010.
Suardi, M. Pengantar pendidikan teori dan aplikasi. Jakarta: PT. Indeks. 2010.
EmoticonEmoticon