Akidah secara etimologi berasal dari bahasa Arab yaitu dari kata `aqada-ya`qidu-‘uqdatan wa`aqidatan mengandung arti “ikatan atau perjanjian”. Kata al-‘aqdu yang berarti “ikatan”, at-tautsiqu yang berarti “kepercayaan atau keyakinan yang kuat”, al-ihkamu yang artinya “mengokohkan (menetapkan)”, dan ar-rabtu bi quwwah yang berarti “mengikat dengan kuat” (Yazid bin Abdul Qadir Jawas, 2006:27).
Secara terminologi, ‘aqa’id ialah kata jamak dari ‘aqidah, yang artinya “kepercayaan”. Yaitu sesuatu yang mengharuskan hati membenarkan, yang membuat jiwa tenang tentram kepadanya, dan yang menjadi kepercayaan/ keyakinan yang bersih dari bimbang dan ragu (Suyatno Prodjodikoro, 1991:29).
Menurut Hasan al-Banna ‘aqa’id adalah: “Beberapa perkara yang wajib diyakini kebenarannya oleh hati, mendatangkan ketentraman jiwa, menjadi keyakinan yang tidak bercampur sedikitpun dengan keragu-raguan”. Sedangkan menurut Abu Bakar Jabir al-Jazairy mengatakan akidah adalah: “Sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara umum oleh manusia berdasarkan akal, wahyu, dan fitrah. Kebenaran itu dipatrikan di dalam hati dan diyakini keshahihan dan keberadaannya secara pasti, dan ditolak segala sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran itu” (Yunahar Ilyas, 1993:1-2).
Dengan demikian dapat dikatakan pula akidah berarti keyakinan kuat yang dibenarkan oleh manusia berdasarkan akal dan keshahihannya dipatrikan di dalam hati secara pasti tidak bercampur sedikitpun dengan keragu-raguan.
Pembentuk Akidah Manusia
Tiap-tiap bangsa mempunyai watak dan tabiat yang berkembang yang membedakan mereka dari bangsa-bangsa yang lain. Kepadanyalah kembali akidahnya, tata aturan hidupnya, keseniannya dan kebudayaannya. Oleh karena itu bangsa adalah faktor utama yang sangat mempengaruhi perkembangan akidah seseorang.
Untuk membentuk akidah dalam masyarakat atau merubahnya, memerlukan waktu. Karena waktulah yang telah membentuk akidah itu. Maka waktu jugalah yang akan menguatkan atau melemahkannya.
Pendidikan dan pengajaran, adalah faktor-faktor yang menyiapkan suatu bangsa dalam menghadapi masa mendatang. Maka pendidikan dan pengajaran yang berkembang dalam suatu masyarakat adalah pencerminan bagi masa mendatannya. Apabila pendidikan dan pengajaran dalam suatu bangsa baik, maka baiklah bekasannya. Sebaliknya apabila pendidikan dan pengajaran itu tidak berkeadaan baik, maka binasalah umat itu dan kehancuranlah yang akan dihadapinya.
Peraturan kenegaraan dan kemasyarakatan merupakan faktor yang penting juga, walaupun tidak seberapa kuat bagi perkembangan akidah. Karena yang sebenarnya pengendali akidah adalah akhlak dan tabiatnya, bukan pemerintahan atau undang-undangnya.
Adapun pengaruh (pendorong) yang dekat, ialah:
- Ucapan dan cita-cita yang bergelora.
- Khayalan-khayalan yang tidak ada hakikatnya yang merupakan impian-impian atau harapan-
harapan yang membangkitkan daya usaha dalam mewujudkan apa yang menjadi khayalan itu.
- Pengalaman-pengalaman (Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, 2009:35-36).
Faktor-faktor yang Membentuk Akidah Seseorang
Le Bon menerangkan bahwa faktor-faktor yang membentuk akidah seseorang manusia ada dua macam:
1. Faktor-faktor yang tumbuh dari dalam.
Faktor yang tumbuh dari dalam, ialah:
- Perangai.
- Teladan yang utama yang dipandang sebagai suatu kesempurnaan yang harus dicapai.
- Kebutuhan-kebutuhan hidup, makanan, minuman dan sebagainya.
- Sesuatu yang disukai manusia dan dicintainya.
- Keinginan yang sangat keras untuk memperoleh suatu yang disukai.
2. Faktor-faktor yang tumbuh dari luar.
Faktor-faktor yang tumbuh dari luar, ialah:
- Urusan-urusan yang belum jelas diketahui yang memerlukan penjelasan, yaitu suatu yang
mendorong manusia untuk mengetahui penjelasannya. Dalam hal ini manusia segera benar
membenarkan suatu penjelasan yang diberikan orang kepadanya dan inilah sumber dari
berbagai-bagai kesalahan.
- Merasa puas menerima suatu akidah lantaran pengaruh lingkungan, atau pengaruh pidato, atau
pengaruh berita-berita yang berkembang, atau buku-buku yang tersebar, atau anjuran seseorang
yang mempunyai wibawa dan pengaruh.
- Tanggapan-tanggapan yang mula-mula timbul, yaitu suatu sifat atau hukum tentang suatu
urusan yang tadinya tidak diketahui.
- Ucapan-ucapan yang disebut oleh para mubaligh (da’i) yang diucapkan untuk menyeru
masyarakat kepada suatu akidah.
- Gambar-gambar, baik terlukis dihati atau terlukis ditulisan seperti lukisan, ucapan yang
didengar. Pengaruh-pengaruh ucapan tidak seberapa keras, tetapi pengaruh gambar yang
divisualkan adalah sangat besar pada diri manusia. Kita cukup mengetahui gambar-gambar
yang dimuat dalam majalah-majalah dan lain-lain dan karikatur-karikatur dalam mengarahkan
manusia kepada suatu maksud.
- Persangkaan-persangkaan yang selalu menyertai manusia semenjak dari masa kecilnya hingga
dia mengakhiri hayatnya. Persangkaan-persangkaan itulah yang mendorong manusia berjalan
lurus tanpa memikirkan akibat-akibatnya.
- Keadaan-keadaan yang memaksa, yaitu situasi dan suasana, sebagai keadaan peperangan yang
mendorong manusia menganggap baik hukum-hukum yang berlaku di masa peperangan dan
melaksana-kannya.
Inilah faktor-faktor yang menumbuhkan akidah, baik dalam diri masyarakat, maupun dalam hati perorangan.
Menurut Le Bon untuk membentuk akidah tidaklah diperlukan berwujudnya seluruh faktor-faktor yang telah diterangkan itu. Bahkan untuk membentuk akidah, cukuplah faktor lingkungan, pewarisan dan penularan, sebagaimana yang berlaku saat ini (Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, 2009:36-38).
Manusia Membutuhkan Akidah yang Benar
Akidah mempunyai pengaruh yang besar terhadap pikiran dan kehendak manusia. Seseorang yang ingin melakukan sesuatu tak dapat menghindari pengaruh akidahnya saat dia merencanakannya. Karena itu cara-cara yang ditempuh manusia dalam merencanakan sesuatu atau dalam menetapkan hukuman adalah mengikuti akidahnya.
Akidah yang benar, merupakan sendi bagi pikiran yang lurus, pendapat yang benar dan usaha yang penuh bijaksana. Dialah tiang tonggak bagi kesempurnaan manusia dan sandaran yang kuat bagi budi pekerti manusia. Pikiran-pikiran yang bersimpang-siur, pekerjaan-pekerjaan yang jahat apabila kita berusaha mengembalikannya kepada sebab-sebab timbulnya dan kepada sumber-sumbernya, tentulah kita menemukan bahwa sebab dan sumbernya ialah akidah yang keliru yang tidak dapat dibina atas dalil yang kuat, dia hanya berdasarkan khurafat dan prasangka (Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, 2009:52-53).
Oleh karena itulah agama Islam mendatangkan dua urusan yang besar ini.
Pertama, memalingkan akal dari berpegang teguh kepada aneka khurafat yang diwariskan oleh orang-orang tua dan memberi pengertian bahwa apa yang telah dianut oleh orang-orang tua itu bukanlah suatu yang sudah terang benar, sebenarnya orang yang telah lampau masanya dan orang yang datang belakangan dalam masalah fitra dan tamyiz, adalah sama. Lantaran inilah Islam memberi kebebasan kepada akal untuk menetapkan suatu hukum dengan bebas.
Kedua, menyeru manusia kepada meng-Esakan Khaliq (pencipta) dan mengitikadkat bahwa Allah sendirilah yang menciptakan makhluk, menyelesaikan segala kebutuhannya dan tak ada sesuatu apa pun dari antara makhluk yang mempunyai kekuasaan ghaib atas nama Allah, seperti memberi, menahan, memuliakan atau menghinakan.
Dengan dua faktor ini manusia memperoleh kebebasan berpikir, kebebasan iradat. Dua hal inilah asas kesempurnaan manusia dan kemajuannya. Dari manusia-manusia yang demikianlah tersusun umat Islam yang teguh dan kuat (Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, 2009:55-56).
DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. Sejarah & Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam. Semarang: Pustaka Rizki Putra. 2009.
Ilyas, Yunahar. Kuliah Aqidah Islam. Yogyakarta: LembagaPengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. 1993.
Jawas, Yazid bin Abdul Qadir. Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafi’i. 2006.
Prodjodikoro, Suyatno. Aqidah Islamiyyah dan Perkembangannya. Yogyakarta: Sumbangsih Offset. 1991.
EmoticonEmoticon