Pandangan Islam Tentang Konsep Manusia dan Keistimewaannya

Konsep Manusia

Dalam Alquran, terdapat beberapa terma atau istilah yang merujuk pada kata manusia, antara lain: (1) al-Nas (الناس) dan berbagai bentuk derivasinya seperti al-Insan, al-Ins, al-Unas, al-Nasiyya, dan al-Insiyya, (2) al-Basyar (البشر), dan (3) Bani Adam (بنى أدم). Menurut ‘Aisyah Abdurrahman, dalam Alquran, kata al-Nas, al-Ins, dan al-Insan tidak pernah digunakan untuk arti manusia secara fisik. Kata al-Nas yang disebutkan adalah sebagai nama jenis untuk keturunan adam, yakni satu spesies di alam semesta. Contoh untuk hal ini adalah firman Allah SWT. dalam Alquran surat al-Hujuraat (49) ayat 13:

Artinya: “Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS. al-Hujuraat: 13).

Sedangkan kata al-Insan, nilai kemanusiaannya tidak hanya terbatas pada kenyataan spesifik manusia untuk tumbuh menjadi al-Ins, tetapi juga sampai pada tingkat yang membuatnya pantas untuk menjadi khalifah di bumi, menerima beban taklif, dan amanah kemanusiaan. Karena al-Ins dibekali dengan al-‘ilm, al-bayan, al-‘aql, dan al-tamyiz, maka dia harus berhadapan dengan ujian kebaikan dan kejahatan, ilusi tentang kekuatan dan kemampuannya, serta optimisme untuk mencapai tingkat perkembangan yang paling tinggi di antara spesies-spesies lain yang ada di alam semesta ini.

Dalam alquran kata al-Insan diulang sebanyak 65 kali. Dari keseluruhan ayat-ayat itu, Aisyah menemukan makna yang khas dari apa yang disebut sebagai al-Insaniyah. Sebagai contoh, kata al-Insan yang disebut tiga kali dalam Q.S. al-Alaq, mencerminka gambaran umum mengenai tiga hal: (1) menunjukkan bahwa manusia tercipta dari ‘alaq, yaitu segumpal darah, (2) mengisyaratkan hanya manusia yang dikaruniai ilmu, dan (3) mengingatkan manusia bahwa dia memiliki sifat sombong yang bisa menyebabkan lupa kepada sang pencipta (Abdurrahman, 1997:12-13).

Kemudian, kata al-Basyar yang semakna dengan al-basyariyah adalah zhahir al-jald yang bermakna kulit yang tampak. Manusia disebut al-Basyar karena memang kulitnya tampak jelas dilihat dan tidak ditutupi bulu tebal seperti hewan. Karenanya, kata al-Basyar selalu dihadirkan Alquran dalam arti fisik biologis manusia yang tampak jelas. Hal tersebut dapat dilihat dari berbagai ungkapan Alquran mengenai al-Basyar yang konteksnya selalu merujuk kepada manusia sebagai makhluk biologis. ‘Aisyah menyatakan bahwa kata al-Basyar dalam keseluruhan Alquran, mengindikasikan bahwa al-Basyariyah itu berarti dimensi material manusia, yang suka makan dan berjalan di pasar. Di sini tampak kesamaan antara seorang manusia dengan manusia lainnya, yakni mempunyai sifat-sifat material yang sama.

Sementara itu, kata Bani Adam bermakna generasi keturunan Adam as. Kata bani (dalam bani Adam) berasal dari huruf ب dan Ù†, yang dalam bentuk masdarnya adalah al-bina’ yang berarti “bangunan”. Sedangkan kata Adam (dalam bani Adam) merujuk pada nabi Adam as. yang merupakan manusia yang pertama diciptakan Allah SWT. Karena itu, secara umum terma bani Adam bisa dimaknai sebagai generasi yang dibangun, diturunkan, atau dikembangbiakkan dari Adam as. Dalam Alquran, kata-kata bani Adam selalu merujuk pada konsep persamaan kemanusiaan, yaitu sama-sama keturunan nabi Adam as. dan sama-sama memiliki harkat dan martabat kemanusiaan yang universal (Abdurrahman, 1997:15).

Proses Penciptaan Manusia

Secara umum, Alquran memaparkan bahwa manusia diciptakan dari diri yang satu, yakni Adam as., yang darinya Allah SWT. menciptakan perempuan, yakni Hawa, dan dari keduanya Allah SWT. memperkembangkbiakkan manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Hal ini secara eksplisit dikemukakan Allah SWT. melalui firman_Nya dalam Alquran surat an-Nisaa’ (4) ayat 1:

Artinya: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu”. (QS. an-Nisaa’: 1)

Bila diteliti secara cermat, dalam Alquran akan ditemukan informasi bahwa ada dua macam proses penciptaan manusia. Pertama, penciptaan secara primordial, yaitu berkaitan dengan penciptaan manusia pertama, yakni Adam as. Kedua, proses penciptaan seluruh manusia atau generasi yang diturunkan dari Adam as.

Alquran menginformasikan bahwa proses penciptaan Adam as. berbeda dengan manusia pada umumnya. Ayat-ayat Alquran yang berbicara tentang penciptaan manusia pertama itu, Adam as. menunjuk al-Khaliq dengan menggunakan dhamir berbentuk tunggal, yakni aku. Hal ini bisa dilihat dalam beberapa firman Allah dalam Alquran surat al-Baqarah (2) ayat 30:

Artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesung-guhnya Aku hendak men-jadikan seorang khalifah di muka bumi.".......”. (QS. al-Baqarah: 30)

Alquran surat al-Hijr (15) ayat 28:

Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk,”. (QS. al-Hijr: 28)

Alquran surat Shaad (38) ayat 71:

Artinya: “(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: "Sesungguh-nya Aku akan mencipta-kan manusia dari tanah". (QS. Shaad: 71)

Berbeda dengan penciptaan Adam as. ketika berbicara tentang proses penciptaan manusia secara umum (yakni generasi yang diturunkan dari Adam as.), Alquran menyebut kata ganti al-Khaliq dengan dhamir yang berbentuk jamak, yakni kami. Hal ini misalnya ditemui pada beberapa ayat Alquran:

Artinya: “Dan apakah manusia tidak memperhatikan bahwa kami menciptakannya dari setitik air (mani), Maka tiba-tiba ia menjadi penantang yang nyata!” (QS. Yaasiin: 77)

Artinya: “Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), Karena itu kami jadikan dia mendengar dan Melihat”. (QS. al-Insaan: 2)

Artinya: “Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”. (QS. at-Tiin: 4)

Redaksi ayat dengan dhamir tunggal, yakni Allah SWT. sebagaimana dinyatakan dalam kasus penciptaan Adam as. memberi arti bahwa tidak ada campur tangan atau keterlibatan pihak lain dalam proses penciptaan Adam as. selain Allah SWT. Hal ini berbeda dengan kasus penciptaan manusia secara keseluruhan, yakni generasi yang diturunkan dari Adam as. Karenanya, ketika menafsirkan QS. at-Tiin (95) ayat 4, Quraish Shihab menyatakan bahwa dhamir jamak, yakni kami, dalam ayat tersebut memberi arti bahwa ada keterlibatan pihak lain yang dilibatkan Allah SWT. dalam proses penciptaan manusia. Pihak lain itu adalah ayah dan ibu. Keterlibatan keduanya tidak hanya mencakup proses reproduksi, akan tetapi memiliki pengaruh terhadap bentuk fisik dan psikis anak (Shihab, 2004:377).

Tujuan, Fungsi, dan Peran Manusia

Tujuan penciptaan makhluk, termasuk manusia tentunya, adalah untuk mengenal Tuhannya (‘arafa rabbah). Karenanya, ketika berada di alam ruh, Allah SWT. telah mengambil syahadah, atau kesaksian diri manusia terhadap keberadaan dan ke_Esaan_Nya. Seperti ditegaskan Allah dalam Alquran surat al-A’raaf (7) ayat 172:

Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku Ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan)". (QS. al-A’raaf: 172)

Dalam konteks ini, syahadah atau kesaksian merupakan bukti pengenalan dan kesadaran diri manusia akan keberadaan Tuhannya. Agar manusia tidak mudah melupakan syahadah itu, maka Allah SWT. menganugrahkan kepada mereka potensi al-sam’a, al-abshar, dan al-af’idah. Sebagaimana firman Allah dalam Alquran surat al-Mulk (67) ayat 23:

Artinya: “Katakanlah: "Dia-lah yang menciptakan kamu dan menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati". (tetapi) amat sedikit kamu bersyukur”. (QS. al-Mulk: 23)

Alquran menginformasikan bahwa aktualisasi syahadah manusia kepada Allah SWT. harus diperlihatkan dalam bentuk pelaksanaan fungsi dan tugas penciptaannya. Dalam konteks ini, Islam menempat-kan fungsi penciptaan manusia sebagai makhluk ibadah (‘abd Allah) yang diperintahkan untuk mengabdi atau menghambakan diri secara kontiniu dengan tulus dan ikhlas hanya kepada Allah SWT. semata. Secara eksplisit, hal ini ditegaskan Allah SWT. dalam Alquran surat adz-Dzariyaat (51) ayat 56:

Artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”. (QS. adz-Dzariyaat: 56)

Secara sempit, makna ibadah mengacu pada tugas-tugas pengabdian manusia secara individual sebagai hamba Allah SWT. Tugas ini diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan ibadah ritual yang dilaksanakan secara terus-menerus dengan punuh keikhlasan. Kalimat liya’budun pada ayat di atas berbentuk fi’il mudhari’, yang dalam gramatika bahasa Arab lazim digunakan untuk suatu perbuatan yang sedang dan akan terus menerus dilakukan di masa mendatang. Pemenuhan fungsi ini memerlukan penghayatan yang dalam agar seorang hamba sampai pada tingkat religiusitas dimana tercapainya kedekatan diri dengan Allah SWT. Bila tingkat ini berhasil diraih, maka seorang hamba akan bersikap tawadhu’, tidak arogan dan akan selalu pasrah pada segala ketentuan dan ketetapan Allah SWT. (tawaqqal).

Namun secara luas, makna ibadah sebenarnya meliputi seluruh aktivitas manusia dalam kehidupannya. Islam menggariskan bahwa seluruh aktivitas manusia selama ia hidup di alam semesta ini adalah ibadah, manakala aktivitas itu memang dilakukan dan ditujukan semata-mata hanya dan untuk mencari ridha Allah SWT. Belajar adalah ibadah, manakala itu dilakukan dengan niat mencari ridha Allah. Bekerja juga adalah ibadah manakala itu dilakukan untuk mencari ridha Allah. Semua aktivitas manusia muslim dalam seluruh dimensi kehidupannya adalah ibadah, manakala benar-benar dilakukan untuk mencari ridha Allah SWT semata. Inilah makna sesungguhnya ibadah sebagaimana tercermin dalam pernyataan yang diajarkan Allah SWT. dalam Alquran surat al-An’am (6) ayat 162:

Artinya: “Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”. (QS. al-An’am: 162)

Inilah makna sesungguhnya ibadah yang manakala dipahami, dihayati dan diamalkan, maka seorang muslim akan menemukan jati dirinya sebagai insan paripurna (al-insan al-kamil) (Al-Rasyidin, 2017:24-26).

Selanjutnya, dalam konteks tugas penciptaan, dalam perspektif falsafah pendidikan islami, manusia adalah khalifah Allah. Sebagaimana tertulis dalam Alquran surat al-Baqarah (2) ayat 30:

Artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui". (QS. al-Baqarah: 30)

Yang diberi tugas sebagai pemimpin dan pengganti Allah untuk melaksanakan titah_Nya, baik terhadap diri sendiri, manusia, dan makhluk lain, serta memakmurkan kehidupan di bumi. Allah SWT. berfirman dalam Alquran surat Huud (11) ayat 61:

Artinya: “Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka shaleh. Shaleh berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. dia Telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, Karena itu mohonlah ampunan-Nya, Kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenan-kan (doa hamba-Nya)". (QS. Huud: 61)

Menurut Ahmad Musthafa al-Maraghi, kata khalifah dalam ayat di atas memiliki dua makna: (1) Pengganti, yakni pengganti Allah SWT. untuk melaksanakan titah_Nya di muka bumi, dan (2) Pemimpin yang kepadanya diserahi tugas untuk memimpin diri dan makhluk lainnya serta memakmurkan dan mendayagunakan alam semesta untuk kepentingan manusia secara keseluruhan (al-Maraghi, 1985:131).

Ahmad Azhar Basyir pula mengatakan bahwa sebagai khalifah, Allah SWT. telah memberikan mandat kepada manusia menjadi penguasa untuk mengatur bumi dan segala isinya. Inilah kekuasaan yang bersifat umum yang diberikan Allah SWT. kepada manusia sebagai khalifah, yakni untuk memakmurkan kehidupan di bumi. Demikian pun, kekuasaan seorang khalifah tidaklah bersifat mutlak, sebab kekuasaannya dibatasi oleh pemberi amanah atau mandat kekhalifahan itu, yakni Allah SWT. Karenanya, sebagai pemegang amanah atau mandat Allah SWT. seorang khalifah tidak boleh menggunakan kekuasaannya untuk melawan kehendak dan hukum-hukum yang telah ditetapkan Allah SWT. (Basyir, 1994:48)

Dalam memenuhi perannya, manusia memiliki visi dan misi sebagai hamba Allah dan sebagai khalifah Allah. Visi manusia sebagai hamba Allah adalah menjadi pribadi beriman yang teguh, berilmu yang luas, beramal shaleh serta bertaqwa untuk meraih kebahagian dunia dan akhirat. Adapaun misi seorang muslim di dunia ini dalam upaya mencapai visinya adalah beriman kepada Allah SWT. karena sebaik baik amal adalah iman kepada Allah SWT., kemudian beribadah  kepada Allah SWT.

Keistimewaan Manusia

Selaku penduduk bumi, manusia menanggung beban untuk memakmurkannya, agar ia dapat hidup sejahtera dan dapat menjalankan fungsinya. Fungsi manusia baik sebagai khalifah, pengelola dan pemakmur bumi maupun selaku ‘abid hamba Allah yang wajib mengabdikan diri beribadah semata kepada penciptanya, diberikan bekal hidup antara lain:

1. Bentuk tubuh yanng sempurna

Manusia diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya, bukan saja dinilai dari keindahan rupa, melainkan juga dari susunan penempatan anggota-anggota badan yang memungkinkannya bergerak dengan leluasa.

Artinya: “Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”. (QS. At-Tiin: 4)

Fisiknya yang tegak vertikal, tidak selonjor horizontal atau setengah horizontal sebagaimana hewan. Memang ia tidak lebih besar dari gajah, larinya tidak lebih cepat dari kuda, tidak lebih kuat dari singa, atau lebih kuat dari sapi atau kerbau dalam memikul beban, tidak pula tahan berenang dan menyelam seperti ikan, dan tidak pula terbang seperti burung.

Seperti kebanyakan makhluk jenis hewan, manusia memiliki panca indera yang lengkap; mata, telinga, hidung, lidah dan kulit. Jika manusia berlatih dengan sungguh-sungguh niscaya dapatlah ia memiliki pendengaran dan penglihatan yang tajam sebagaimana yang dimiliki oleh hewan yang mempunyai keistimewaan dalam masing-masing panca indranya (Khaelany, 1992:151-153).

2. Akal

Khaelany (1992:153) menjelaskan bahwa di dalam Alquran tidak kurang dari 40 ayat yang menyinggung masalah akal, agar manusia senantiasa menggunakan akalnya dalam bertindak dan bertingkah laku, dan sebaliknya, Allah murka kepada orang yang tidak mempergunakan akalnya.

Artinya: “Dan tidak ada seorangpun akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya”. (QS. Yunus: 100)

Menurut versi Alquran, orang-orang yang berakal adalah orang-orang yang dapat mengambil pelajaran dari adanya makhluk (alam semesta ini) sebagai alamat dan bukti eksistensi Khalik yang gaib.

Artinya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka”. (QS. Ali-‘Imran: 190-191)

3. Hati

Dengan keistimewaan hati yang diberikan oleh Allah, anggota tubuh dalam segala perbuatan, gerak dan diamnya dapat memperoleh tempat istimewa, kedudukan tinggi dan posisi yang agung. Oleh karena itu manusia harus senantiasa merenung, berpikir dan mengetahui bahwa semua hal yang ia dapatkan sebagai timbal balik dari semua perbuatan tubuh serta interaksinya dengan ruang, waktu dan berbagai peristiwa. Semua itu bergantung terhadap posisimya di hati. Hati adalah pusat perhatian dari Tuhan yang Maha Mulia dan Maha Agung. Keistimewaan makrifat kepada Allah SWT, sampai kapanpun tidak dapat dicapai dengan anggota tubuh, tetapi hanya bisa dicapai dengan hati yang merupakan keistimewaan dari manusia.

Rasulullah SAW bersabda: “Ketahuilah bahwasanya di dalam jasad itu terdapat segumpal daging, apabila ia baik maka baik pula seluruh jasadnya, dan apabila ia rusak maka rusak pula seluruh jasadnya, ketahuilah ia adalah hati (HR Bukhari dan HR Muslim).

Setiap diri telah dikarunia oleh Tuhan sebuah jiwa, yang dengan jiwa itu, ia bebas menentukan pilihan reaksi. Bereaksi positif atau negatif, bereaksi berhenti atau melanjutkan, bereaksi marah atau sabar, bereaksi reaktif atau proaktif, bereaksi baik atau buruk. Andalah sebenarnya penanggung jawab penuh dari reaksi, sikap, dan juga keputusan itu (Agustian, 2001:39).


DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, ‘Aisyah. Manusia Sensitivitas dan Hermeneutika Alquran, terj. M. Adib al-Arief. Jakarta: LKPSM, 1997.

Agustian, Ary Ginanjar. Emotional Spiritual Quotient. Jakarta: Arga Publishing. 2001.

Al-Maraghi, Ahmad Musthafa. Tafsir al-Maraghi, Juz 1 dan 2. Semarang: Toha Putra. 1985.

Al-Rasyidin, Falsafah Pendidikan Islam Membangun Kerangka Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi Praktik Pendidikan, cet. 5. Bandung: Citapustaka Media Perintis. 2017.

Basyir, Ahmad Azhar. Refleksi Atas Persoalan Keislaman. Bandung: Mizan. 1994.

Khaelany HD. Islam dan Aspek-Aspek Kemasyarakatan. Jakarta: Bumi Aksara. 1992.

Shihab, M. Quaish. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, Volume 15. Jakarta: Lentera Hati. 2004.

Previous
Next Post »