Pandangan Islam Tentang Konsep Alam Semesta, Proses, dan Tujuan Penciptaannya

Konsep Alam Semesta

Dalam perspektif Islam, alam semesta adalah sesuatu selain Allah SWT. karenanya, alam semesta bukan hanya langit dan bumi, tetapi meliputi segala sesuatu yang ada dan berada di antara keduanya. Tidak hanya itu, dalam perspektif Islam, alam semesta tidak hanya mencakup hal-hal yang konkrit atau dapat diamati melalui penginderaan manusia, tetapi mencakup juga segala sesuatu yang tidak dapat diamati oleh penginderaan manusia. Dalam Islam, segala sesuatu selain Allah SWT. yang dapat diamati atau didekati melalui penginderaan manusia disebut sebagai ‘alam syahadah. Ia merupakan fenomena. Sementara itu, segala sesuatu selain Allah SWT. yang tidak dapat diamati atau didekati melalui penginderaan manusia disebut sebagai ‘alam ghaib. Karenanya, ia adalah noumena (al-Syaibany, 1979:58).

Quraish Shihab menyatakan bahwa semua yang maujud selain Allah SWT. baik yang telah diketahui maupun yang belum diketahui manusia, disebut alam. Kata ‘alam terambil dari akar kata yang sama dengan ‘ilm dan ‘alamah, yaitu sesuatu yang menjelaskan sesuatu selainnya. Karenanya, dalam konteks ini, alam semesta adalah alamat, alat atau sarana yang sangat jelas untuk mengetahui Pencipta Yang Maha Esa, Maha Kuasa, lagi Maha Mengetahui. Dari sisi ini dapat dipahami bahwa keberadaan alam semesta merupakan tanda-tanda yang menjadi alat atau sarana bagi manusia untuk mengetuhui dan membuktikan keberadaan serta kemahakuasaan Allah SWT (Shihab, 2004:32).

Proses Penciptaan Alam Semesta

Terdapat perbedaan pandangan dikalangan muslim tentang asal mula penciptaan alam semesta. Ada yang menyatakan bahwa alam semesta ini diciptakan dari ketiadaan menjadi ada. Sementara itu, ada pula yang berpendapan alam semsta ini diciptakan dari materi atau sesuatu yang sudah ada. Pendapat pertama ini selalu didasarkan pada penggunaan kata khalaqa yang digunakan dalam penciptaan alam semesta. Mereka berpendapat bahwa penggunaan kata khalaqa memiliki arti menciptakan sesuatu dari bahan yang belum ada menjadi ada. Sementara itu, pendapat kedua didasarkan pada informasi Alquran yang mengindikasikan bahwa alam semesta ini diciptakan dari suatu materi yang sudah ada. Informasi seperti ini misalnya ditemukan dalam dua surah. Pertama, Q.S, Fushshilat (41):11 yang menyatakan bahwa Allah SWT. menuju langit, sedangkan langit ketika itu masih merupakan dukhan (asap). Kedua, Q.S, al-Anbiya’ (21):30 yang menginformasikan bahwa langit dan bumi itu dahulunya adalah kanata ratqa, yaitu suatu yang padu, lalu Allah SWT. memisahkan antara keduanya. Pandangan kedua ini memiliki kesamaan dengan penelitian yang dilakukan para pakar astronomi dan astrofisika yang menyimpulkan bahwa keseluruhan alam semesta ini pada awalnya adalah satu massa yang besar (kabut angkasa utama). Kemudian terjadi Big Bang (pemisahan skunder) yang menimbulkan terbentuknya galaksi. Galaksi tersebut kemudian terbagi-bagi dalam bentuk bintang-bintang, planet-planet, matahari, bulan, dan lain-lain (Naik dan Miler, 2008:55-56).

Georges Lemaitre, seorang biarawan Katolik Roma Belgia, dianggap sebagai orang pertama yang mengajukan teori ledakan dahsyat mengenai asal usul alam semesta, walaupun ia menyebutnya sebagai “hipotesis atom purba”. Kerangka model teori ini bergantung pada realitivitas umum Albert Einstein dan beberapa asumsi-asumsi sederhana, seperti homogenitas dan isotropi ruang. Persamaan yang mendeskripsikan teori ledakan dahsyat dirumuskan Alexander Friedmann. Setelah Edwin Hubble pada tahun 1929 menemukan bahwa jarak bumi dengan galaksi yang sangat jauh umumnya berbanding lurus dengan geseran merahnya, sebagaimana yang dipaparkan oleh Lemaitre pada tahun 1927, pengamatan ini dianggap mengindikasikan bahwa semua galaksi dan gugus bintang yang sangat jauh memiliki kecepatan tampak yang secara langsung menjauhi titik pandang kita: semakin jauh semakin cepat kecepatan tampaknya (Maharani, https://www.kompasiana.com [home page online]: diakses tanngal 4 September 2017).

Menurut pandangan filosofi muslim al-Farabi yang memiliki teori emanasi menjelaskan tentang keluarnya suatu wujud atau bagaimana yang banyak bisa timbul dari yang satu. Tuhan bersifat Maha Esa, tidak berubah, jauh dari materi, Maha Sempurna, dan tidak berhajat kepada apapun. Kalau demikian hakikat sifat Tuhan bagaimana terjadinya alam materi yang banyak ini dari yang Maha Satu. Emanasi seperti yang disinggung di atas merupakan solusinya bagi al-Farabi.

Proses emanasi tersebut yakni, Tuhan sebagai akal, berfikir tentang diri-Nya, dan dari pemikiran ini timbul satu maujud lainnya. Dalam teori emanasi yang dicetuskan oleh al-Farabi, tuhan adalah wujud I, dan dengan pemikirannya timbul wujud II yang mempunyai substansi yang disebut akal I yang tidak bersifat materi. Wujud II atau akal I, ketika berfikir tentang tuhan, melahirkan wujud III atau akal II, ketika berfikir tentang dirinya, melahirkan langit I. Wujud III atau akal II ketika berfikir tentang tuhan melahirkan wujud IV atau akal III, ketika berfikir tentang dirinya tuhan melahirkan wujud V atau akal IV. ketika berfikir tentang dirinya melahirkan saturnus. Wujud V atau akal IV ketika berfikir tentang tuhan melahirkan wujud VI atau akal V, ketika berfikir tentang dirinya melahirkan jupiter. Wujud VI atau akal V ketika berfikir tentang tuhan akan melahirkan wujud VII atau akal VI, ketika berfikir tentang dirinya melahirkan mars. Wujud VII atau akal VI ketika berfikir tentang tuhan melahirkan wujud VIII atau akal VII, ketika berfikir tentang dirinya melahirkan matahari, wujud VIII atau akal VII ketika berfikir tentang tuhan melahirkan wujud IX atau akal VIII, ketika berfikir tentang dirinya melahirkan venus. Wujud IX atau akal VIII ketika berfikir tentang tuhan melahirkan wujud X atau akal IX, ketika berfikir tentang dirinya melahirkan mercury. Wujud X atau akal IX ketika berfikir tentang tuhan akan melahirkan wujud XI atau akal X, ketika berfikir tentang dirinyamelahirkan bulan. Dari akal X timbullah bumi, roh-roh dan materi dasar dari empat unsur yakni api, udara, air dan tanah.

Masing-masing akal yang berjumlah sepuluh itu mengatur 1 planet, akal-akal ini adalah para malaikat dan akal kesepuluh, yang juga dinamakan akal fa’al, disebut dengan Jibril yang mengatur bumi.

Persoalan emanasi telah dibahas oleh aliran Neo Platonisme yang menggunakan kata-kata simbolis (kiasan), sehingga tidak bisa didapatkan hakekatnya yang sebenarnya. Akan tetapi al-Farabi dapat menguraikan secara ilmiah, dan ia mengatakan bahwa segala sesuatu keluar dari tuhan, karena tuhan mengetahui Zat-Nya dan mengetahui bahwa ia menjadi dasar susunan wujud yang sebaik-baiknya.

Akan lebih jelasnya lagi lewat pertanyaan, bagaimana cara terjadinya emanasi tersebut? Seperti halnya dengan Plotinus, al-Farabi mengatakan bahwa tuhan itu Esa. Oleh karena itu, yang keluar dari pada-Nya juga suatu wujud saja, sebab emanasi timbul karena pengetahuan (ilmu) tuhan terhadap Zat-Nya yang satu. Dasar adanya emanasi tersebut ialah dalam pemikiran Tuhan dan pemikiran akal-akal terdapat kekuatan emanasi dan penciptaan. Dalam alam manusia sendiri, apabila kita memikirkan sesuatu, tergeraklah kekuatan badan untuk mengusahakan terlaksananya atau wujud-Nya.

Maksud al-Farabi menggunakan faham emanasi adalah untuk menghindarkan arti banyak dalam diri Allah, karena Allah tidak bisa secara langsung menciptakan alam yang banyak jumlah unsurnya (Boer, 1962:163).

Terlepas dari perbedaan pandangan di atas, Alquran menginformasikan bahwa alam semesta ini diciptakan tuhan tidak secara sekaligus atau ‘sekali jadi’, tetapi melalui serangkai tahapan, masa atau proses. Dalam sejumlah surah, Alquran selalu menggunakan istilah fi sittah ayyam, yang bisa diterjemahkan dalam arti enam hari, enam masa, atau mungkin enam periode. Selain itu, dalam Alquran, ditemukan pula ayat yang menyatakan bahwa Allah SWT. menciptakan bumi dalam dua hari atau dua masa (yaumayn), dan menentukan kadar makanan penghuninya dalam empat hari atau empat masa (arba’a ayyam), dan menjadikan tujuh langit dalam dua hari (yaumayn). (QS. Fushshilat (41):9-10, dan 11-12)

Ketika menjelaskan iradah Allah dalam kaitannya dengan penciptaan sesuatu pun, Alquran menggunakan ungkapan: kun fayakun, yang seringkali diterjemahkan dalam arti: jadi maka jadilah (QS. Yasin (36):82).

Dalam ungkapan ini, kata kerja yang digunakan adalah fi’il mudhari’. Dalam gramatika bahasa Arab, bila suatu perbuatan diungkapkan dalam bentuk mudhari’, maka itu berarti bahwa suatu perbuatan yang dilakukan itu adalah perbuatan yang sedang dan akan terus dilakukan di masa mendatang. Artinya, kata kerja fi’il mudhari’ mengandung makna bahwa terjadi kontinuitas dalam melakukan pekerjaan itu. Karenanya, dari sisi ini, dapat dipahami bahwa penciptaan sesuatu itu, termasuk alam semesta, terjadi melalui tahapan atau proses, dan proses itu berlangsung secara kontinum atau sepanjang masa. Itu berarti bahwa sebagai khaliq atau Maha Pencipta, dalam tiap masa, tiap detik, bahkan tiap detak nafas manusia, Allah SWT. senantiasa mencipta. Tidak ada kondisi dimana Allah SWT. sedang dalam keadaan mencipta, istirahat atau berhenti mencipta, atau memulai kembali perbuatan mencipta. Mustahil Allah SWT. seperti itu, sebab kondisi seperti itu hanya mungkin terjadi pada makhluk atau ciptaan (Kerajaan Saudi Arabia, Mujamma’ al-Malik Fahd li Thiba’at al-Mushhaf al-Syarif, 140 H: 714).

Hal inilah yang ditegaskan Allah SWT. melalui firmannya dalam Alquran surat faathir (35) ayat 1:

Artinya: “Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat. Allah menambahkan pada ciptaan_Nya apa yang dikehendaki_Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS. Faathir: 1)

Tujuan Penciptaan Alam Semesta

Secara eksplisit, Allah SWT. menegaskan bahwa Dia tidak menciptakan langit, bumi dan apa yang ada di antara keduanya secara main-main, kecuali dengan al-haq. Itu berarti bahwa tidak ada ciptaan Allah SWT. sekecil apapun ciptaan itu yang tidak memiliki arti dan makna apalagi alam semesta yang terbentang luas ini.

Dalam perspektif Islam, tujuan penciptaan alam semesta ini pada dasarnya adalah sarana untuk menghantarkan manusia pada pengetahuan dan pembuktian tentang keberadaan dan kemahakuasaan Allah SWT. (Asy-Syarqawi, 1985:222).

Secara ontologis, adanya alam semesta ini mewajibkan adanya zat yang mewujudkannya. Keberadaan langit dan bumi mewajibkan adanya sang pencipta yang menciptakan keduanya. Yang menciptakan langit dan bumi ini bukanlah manusia, tetapi pastilah Yang Maha Pencipta. Sebab, bila manusia yang menciptakan langit dan bumi, akal kita mewajibkan pastilah sudah banyak langit dan bumi. Namun, dari dahulu sampai sekarang, penyelidikan kita menemukan kenyataannya tidak demikian. Karena itu, akal mewajibkan bahwa pencipta langit dan bumi ini pastilah Sang Maha Pencipta, yang ciptaan_Nya tidak bisa diduplikasi, apalagi ditandingi oleh manusia. Dalam konteks ini, keberadaan alam semesta merupakan petunjuk yang sangat jelas tentang keberadaan Allah SWT. sebagai Tuhan Maha Pencipta. Karenanya, dengan mempelajari alam semesta, manusia akan sampai pada pengetahuan bahwa Allah SWT. adalah zat yang mencipta alam semesta. Alquran, dalam beberapa tempat, memotivisir manusia untuk melakukan eksplorasi, pengamatan, dan perenungan terhadap fenomena yang terbentang di alam semesta, yang pada akhirnya menjadi sarana atau jalan bagi manusia untuk mengenal Allah SWT. (Alim, 1995: 65-67).

Alquran secara tegas menyatakan bahwa tujuan penciptaan alam semesta ini adalah untuk memperlihatkan kepada manusia tanda-tanda keberadaan dan kekuasaan Allah SWT. Dalam Alquran surat Fushshilat (41) ayat 53 Allah Berfirman:

Artinya: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?”. (QS. Fushshilat: 53)

Di samping sebagai sarana untuk menghantarkan manusia akan keberadaan dan kemahakuasaan Allah SWT. dalam perspektif Islam, alam semesta beserta segala sesuatu yang ada di dalamnya diciptakan untuk manusia. Alam semesta beserta segala sesuatu yang ada di dalamnya lebih dahulu ada sebelum keberadaan manusia. Setelah alam semesta ini sempurna penciptaannya, baru kemudian Allah SWT. menciptakan manusia untuk menjadi khalifah di dalamnya. Karenanya, salah satu implikasi dari tugas kekhalifahan manusia di alam semesta ini adalah sebagai pemakmur alam dan kehidupan di dalamnya, bukan membuat kerusakan dan melakukan pertumpahan darah di dalamnya (Al-Rasyidin, 2017: 9-10).

Karena alam semesta diciptakan untuk manusia, maka Allah SWT. telah menundukkan bagi mereka. Untuk kepentingan manusia, Allah SWT. menundukkan apa yang ada di langit dan bumi. Dialah yang memudahkan alam ini bagi manusia dan menjadikannya sebagai tempat tinggal yang enak untuk didiami. Dialah yang menundukkan malam dan siang, matahari, bulan, dan bintang untuk manusia. Dialah yang menundukkan lautan agar manusia bisa memakan daging ikan yang segar, mengambil perhiasan dari dalamnya, dan ‘menjalankan’ kapal atau bahtera di atasnya. Agar manusia mudah memahami alam semesta, maka Allah SWT. menciptakan ukuran atau ketentuan yang pasti pada alam semesta, sehingga ia bersifat predictable. Kemudian, agar manusia mudah memahami dan berintaraksi dengan alam semesta ini, maka Allah SWT. menciptakannya dengan derajad yang lebih rendah di banding manusia. Untuk itu, manusia tidak boleh tunduk kepada alam semesta, tetapi harus tunduk kepada Allah SWT. Tuhan yang telah menciptakan dan menundukkan alam ini buat mereka. Allah SWT. berfirman dalam Alquran surat al-Baqarah (2) ayat 267-268:

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan Ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjadikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia dan Allah Maha luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengatahui". (QS. al-Baqarah: 267-268)

Meskipun alam semesta ini diciptakan untuk manusia, namun bukan berarti manusia dapat berbuat sekehendak hati di dalamnya. Hal ini bermakna bahwa kekuasaan manusia pada alam semesta ini bersifat terbatas. Manusia hanya boleh mengolah dan memanfaatkan alam semesta ini sesuai dengan iradah atau keinginan tuhan yang telah mengamanahkan alam semesta ini kepada manusia. Memang, sebagai khalifah, Allah SWT. telah memberikan mandat kepada manusia untuk mengatur bumi dan segala isinya. Demikianpun, kekuasaan seorang khalifah tidaklah bersifat mutlak, sebab kekuasaannya dibatasi oleh pemberi amanah kekhalifahan itu, yakni Allah SWT. (Basyir, 1994: 48).


DAFTAR PUSTAKA

Aksiologi Praktik Pendidikan. cet. 5. Bandung: Citapustaka Media Perintis. 2017.

Alim, Sahirul et. al. Islam Untuk Disiplin Ilmu Pengetahuan Alam dan Teknologi. Jakarta:

Al-Syaibany, Omar Mohd Al-Thoumy. Falsafah Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1979.

Al-Rasyidin. Falsafah Pendidikan Islam Membangun Kerangka Ontologi, Epistimologi. Bandung: Mizan. 1994.

Asy-Syarqawi, Effat. Filsafat Kebudayaan Islam. Bandung: Pustaka. 1985.

Basyir, Ahmad Azhar. Refleksi Atas Persoalan Keislaman. Bandung: Mizan. 1994.

Boer, De. Tarikh al-Falsafat fi al-Islam. Kairo: Lajnat al-Ta’lif wa al-Tarjamah wa al-Nasr. 1962.

Departemen Agama RI. 1995.

Kerajaan Saudi Arabia. al-Qur’an al-Karim wa Tarjimah ma ‘aniyah ila al-Lughah al-Induiisyyah. Madinah al-Munawwarah: Mujamma’ al-Malik Fahd li Thiba’at al-Mushhaf al-Syarif. 140 H.

Maharani, Regita Cahaya. “Big Bang, Teori yang Menjelaskan Terbentuknya Alam Semesta dan Memprediksi Akhir Alam Semesta”, https://www.kompasiana.com [home page online] : Internet (diakses tanngal 4 September 2017)

Naik, Zakir dan Gary Miler. Keajaiban Alquran dalam Telaah Sains Modern. Yokyakarta: Media Ilmu. 2008.

Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan keserasian Alquran. Jakarta: Lentera hati. 2004.

Previous
Next Post »