Diantara karakteristik Alquran adalah merupakan kitab suci bagi seluruh zaman, kitab bagi seluruh manusia, dan kitab suci bagi seluruh agama.
Makna Alquran bagi kitab keseluruhan zaman adalah merupakan suatu kitab yang abadi, bukanlah kitab hanya pada suatu masa tertentu, atau kitab bagi generasi-generasi tertentu, dan kemudian habis masa berlakunya. Akan tetapi, hukum-hukum di dalam Alquran, perintah-peritah dan larangannya, tidak berlaku secara kontemporer pada kurun waktu tertentu, lalu kemudian habis masanya.
Sifat-sifat kontemporer tersebut hanya akan terjadi bagi agama-agama kontemporer yang berlaku pada suatu kurun waktu tertentu. Dan kitab sucinya juga bersifat kontemporer pula, hanya berlaku pada zaman itu saja, kemudian dapat dihapus oleh agama-agama lain yang muncul, kitab suci yang dibawa dan rasul yang lain pula.
Oleh sebab itu, Allah SWT tidak menjaga pemeliharaannya. Akan tetapi pemeliharaan itu diberikan kepada umat penerima kitab suci tersebut. Islam merupakan risalah yang kekal dan nabi Muhammad saw merupakan nabi penutup serta Alquran merupakan kitab suci langit yang terakhir bagi umat manusia. Yang tidak akan terbatas pada suatu kurun waktu tertentu. Ia merupakan kitab suci yang terus ada hingga hari kiamat kelak.
Setiap pengajaran yang dibawa oleh Alquran adalah ajaran-ajaran yang kekal dan pasti akan terus berlaku selama masih ada kehidupan ini dan adanya manusia pula. Tidak ada seorang pun yang boleh berkata bahwa hukum-hukum dalam Alquran itu hanya bagi masa pada saat diturunkannya, yang artinya hanya pada masa kenabian atau masa sahabat, ataupun masa-masa Islam pertama. Sedangkan pada era kontemporer ini, termasuk pada masa ini dan masa setelahnya, tidak terikat lagi dengan hukum-hukum itu lagi.
Oleh sebab itu dalam hal ini, haruslah membendung dengan menggunakan segenap upaya yang melawan Allah yang ingin menenggelamkan ciri kekekalan Alquran, ataupun menyematkan (melekatkan) sifat kontemporer terhadap hukum-hukum pada Alquran yang diberi nama oleh mereka sebagai “historisisme teks”, sampai pada orang yang menentang Alquran yang qath’i (kuat dan benar) dengan berbagai imjinasi dair akalnya (Qardawi, 1999:94).
Setiap pertanyaan yang bermunculan dari bahasan ini yang menyatakan bahwa benarkah Alquran cukup kompatibel terhadap seluruh rangkaian persoalan manusia yang terus bergerak secara dinamis? pertanyaan seperti ini pasti akan dikemukakan mengingat hamparan sejarah yang begitu panjang antara masa turunnya Alquran pada kawasan padang pasir yang tandus serta latar belakang sosial masyarakat yang primitif jahiliyah pada satu pihak dan realitas persoalan yang dihadapi pada saat ini oleh pihak lain.
Teks Alquran bukanlah peninggalan mati yang untouchable, yang tidak tersentuh oleh tangan sejarah. Namun sebaliknya ia lahir pada ruang yang tidak hampa dalam merespon setiap persoalan kemanusiaan yang terus merambah secara dinamis. Ia akan selalu muncul beriringan dengan konteks sosiologis yang masih terus berkembang. Sudah tentu teks dalam hal ini memiliki makna yang sangat luas menyangkut teks yang terintegrasi melaui konteks pengalaman sejarah umat manusia. Integrasi teks dan konteks tersebut perlu dielaborasi (digarap) secara tersistem sebab sejatinya hukum Tuhan tidak akan lahir kecuali dalam konteks kesejahteraan serta kemaslahatan umat manusia sepanjang sejarahnya.
Dalam komposisi ayat dapat ditemukan dua istilah yang saling melengkapi, istilah dari ayat qur’aaniyyah dan ayat kauniyah. Jenisyang pertama itu merupakan ayat-ayat dalam Alquran yang secara verbal (lisan) dan tersurat diwahyukan oleh Allah SWT. Adapun jenis yang kedua merupakan ayat-ayat realitas (kenyataan) yang bersentuhan dengan gejala alam dan jagat raya. apabila jenis ayat-ayat pertama dapat ditelusuri pemaknaanya secara semantik dan verbal, maka jenis ayat-ayat kedua itu harus menggunakan kekuatan daya nalar dan tafakkur (perenungan) mengenai kebesaran Tuhan dengan segala penciptaan-Nya. Dengan kata lain, ayat kauniyyah yang ada dalam Alquran dapat melontarkan daya kreativitas nalar manusia untuk selalu berfikir logis dalam menyikapi realitas kehidupan.
Dalam penelusuran terhadap konteks yang melatar belakangi pewahyuan dari asbab al-nuzul (sebab-sebab turunya Alquran), yang tidak serta merta dapat terselesaikannya persoalan interaksi teks dengan konteks realitas, tapi sekurang-kurangnya dapat menghantarkan kesadaran terhadap akan pentingnya dalam menyingkap kaitan inheren (hubungan erat) antara teks wahyu dengan konteks sosiologis umat manusia.
Kajian historisitas mempunyai peran yang cukup sentral dalam memperdekat jarak yang membentangi historisitas antara masa teks yang diproduksi dengan realitas sosiologis masyarakat pada era sekarang. Dengan kajian asbab al-nuzul dapat mereproduksi makna dalam menyikapi persoalan-persoalan hukum.
Asbab al-nuzul yang merupakan bagian dari ilmu-ilmu Alquran adalah bertujuan dalam menjelaskan sebagian makna-makna terhadap ayat-ayat yang termaktub di dalamnya dengan cara menjelaskan latar belakang diturunkan ayat tersebut. Tentu dalam mengurai makna dari beberapa ayat dalam Alquran tersebut tetap dibutuhkan penafsiran bahkan juga pentakwilan, walaupun bahan-bahan tafsirnya pada awalnya diambil dari jalan periwayatan. Kemudian dari periwayatan inilah sekumpulan cara ataupun metodologi pendekatan yang ditemukan kemudian berkembang lalu dirumuskan oleh para pakar yang bergiat dibidang keilmuan tersebut.
Dari awal mulai sejak zaman Alquran diturunkan hingga kini sampai pada kegiatan “membongkar” makna Alquran tidak pernah sunyi tercatat oleh zaman. Alquran selalu mempunyai relasi bahkan pula interelasi dengan realitas hidup sehari-hari. Ketika persoalan kemanusiaan datang disitula kemudian Alquran menjawabnya. Apabila jawaban wahyu kurang jelas, kemudian umat manusia mengajukan pertanyaan, lalu Rasulullah saw kembali menjelaskan kepada mereka dan begitu pula seterusnya. Sepeninggal Rasulullah saw tentunya peran mediator (penghubung) seperti ini tidak boleh terputus karena mengingat realitas sebagai mitra kerja wahyu terus bergerak secara dinamis.
Peran mediator pada era sekarang ini telah diambil alih oleh akal sehat manusia sebagai khalifatullah fil ardli untuk menjembatani hamparan sejarah yang cukup panjang dengan pengembangan setiap pola interelasi antara wahyu dengan konteks dalam realitas yang terintegrasi dengan pengalaman sejarah manusia. Pada masa khalifah sesudah nabi Muhammad saw merupakan era dimana disebutkan sebagai awal mula dari zaman interpretasi kaum muslimin terhadap kitab suci Alquran. Sebagai penafsir masyhur pertama yang terkenal adalah keempat orang khalifah, kemudian Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubai bin Ka’ab, Zaid bin Zabit, Abu Musa al-Asy’ari dan Abdullah bin Zubair. Metodologi yang dikembangkanpun terbatas pada makna beberapa ayat dengan penafsiran mengenai apa-apa saja yang masih samar dan menjelaskan setiap yang masih global. Dalam penafsiran ayat, dikuatkan oleh mereka dengan riwayat yang disandarkan oleh nabi Muhammad (hadis).
Penafsiran Alquran terus berkembang hingga abad II H lalu pada abad ke III H Jarir Attabari (310 H) berhasil menyusun tafsir Alquran, dengan metodologi berdasarkan susunan ayat. Disamping dair ilmu tafsir “murni” itu, secara paralel lahirlah pembahasan-pembahasan tertentu yang memberi topangan kepada ilmu tafsir itu sendiri. Ilmu-ilmu itu antara lain adalah pembahasan mengenai Asbab al-nuzul. Ali bin al-Madini (w.234 H) adalah orang pertama yang menyusun kitab dengan membahas tentang sebab-sebab turunnya ayat-ayat tertentu.
Yang jelas bahwa perlunya konsep asbab al-nuzul untuk memahami ayat-ayat Alquran tidak terlepas dari keharusan terhadap seorang penafsir dalam memahami realitas yang terjadi, mengenai seputar turunnya wahyu. Hal ini terlihat lebih kontekstual, seiring dengan pemahaman kontemporer yang menghendaki rancangan sejarah dan humanitas untuk lebih dikedepankan. Namun apakah benar kalau tuntutan ini mengandung unsur pembaharuan yang harus ada. Dalam pengertian bahwa realitas dan yang menyangkut keseluruhan unsur-unsurnya akan memaksa manusia dalam penafsiran kandungan Alquran yang selaras dengan keadaan dunia sekarang ini. Pasti akan terdapat persepsi yang berbeda tergantung bagaimana dalam pemahan terhadap sejarah, dinamika sosial dan ruang teks Alquran itu sendiri.
Apabila unsur realitas itu diobjektifikasi ke dalam bacaan teks, maka akan sangat mungkin kandungan Alquran ditafsirkan dengan mengikuti keadaan zaman dan dikatakan pula dapat berdialog, serta bersinergis dengan sejarah. Sebaliknya pula jika teks-teks Alquran dibaca sebagai subjek yang otoriter dan menjustifikasi realitas, maka terdapat kemungkinan besar yang akan terjadi pendiskripsian terhadap kenyataan. Atau lebih radikalnya dapat dikatakan bahwa dalam keadaan seperti ini membawa pemahaman kandungan Alquran berada diruang hampa.
Jika demikian adanya seharusnya seluruh ayat-ayat dalam Alquran memiliki latar belakang yang pasti, sebagai tujuan diturunkannya. Dengan pengertian bahwa latar belakang yang pasti dalam ayat-ayat Alquran, memberi isyarat kepada manusia adanya ruang kesejarahan yang tidak akan pernah putus sepanjang sejarah manusia itu sendiri. Disinilah hukum kausalitas (sebab akibat) berlaku secara relevan dan termasuk pula dalam memaknai kitab suci.
DAFTAR PUSTAKA
Qardawi, Yusuf. Berinteraksi dengan Al-Qur’an Judul Asli Kaifa Nata’ Amalu Ma’al Qur’anil ‘Adhim. Jakarta: Gema Insani Pers. 1999.
Lihat studi Alquran asbab al-nuzul bagian 1, yaitu mengenai latar belakang masalah..! dapat dilihat dengan mengunjungi tautan berikut:
https://rumahdesainedukasi.blogspot.com/2022/06/studi-alquran-asbab-al-nuzul-bagian-1.html
EmoticonEmoticon